Opini – Falsafah Siri tidak berdiri sendiri, ada Pesse yakni turut merasakan proses pergerakan berdayung bersama melintasi benua dan samudera. Indahnya bunyi pepatah; ‘Pauno siri’, ma’palete pesse ri pa’masareng esse’ atau kehormatan bisa menyebabkan kematianmu dan rasa iba bisa membawamu ke alam baka.
Antara Siri dan Pesse prinsip “Mental” keseimbangan membongkar lingkaran oligarki, patrimonial dan primordial dengan slogan kemerdekaan (Liberty) dan keadilan (Justice) yang telah di politisir untuk keserakahan.
Dua hal ini sebagai bekal yang di wariskan kepada cucu-cicit saat ini dari leluhur terdahulu melanjutkan agenda corat-menyoret, gali-menggali per-adab-an dan kearifan akal dan hati.
Bukankah selaras dengan tujuan manusia dari Kitab Hukum Hammurabi Babilon 1700 SM (sebelum masehi) yang sebagian isinya senada dengan Alquran yang hadir 600an M. Lalu pembiasan sejarah pemikir barat mengatakan itu adalah zaman kegelapan Black Century, sejatinya adalah keemasan intelektual Islam “The Golden Age Of Islam” yang disembunyikan sejak kehadiran baginda Rasulullah Saw.
Percayakah bahwa selama 10 abad lebih lamanya terjadi kekacauan sistem dan kemunduran ilmu pengetahuan, tiba-tiba melompati spektrum beralibi renesains, deklarasi Kemanusian oleh PBB dan konsep ideal tentang bernegara dan manusia menurut mereka.
Al Kindi, Al Farabi, Averroess (Ibnu Rusyd), Ibnu Sina (Avicenna) dan Al Ghazali terus siapakah mereka?. Mereka yang telah lama meracik formulanya (sosial-ekonomi-politik), jauh sebelum ledakan teknologi dan industri yang kini menyapu bersih kritisme mahasiswa.
Semisal Devision Of Labor-nya Adam Smith telah tertuang dalam Ihya Ulumuddin-nya Al Ghazali, disitu salah satunya memberikan sampel untuk produksi perusahaan jarum dan satunya lagi adalah peniti. Intinya adalah bagaimana sub-pekerjaan di buka semaksimal mungkin di perbagai tugas-tugas tertentu.
Kemudian manakalah di kotomi ala sekulerisme yang kebarat-baratan dan rasionalime yang keyunani-yunanian sampai lupa siapa mereka yang bisa di pastikan adalah para Nabi. Sebut saja Sidharta Gautama ‘Budha’, Kong Hu Cu, Lao Tsu dengan teosentrisnya ber-adagium Islam yang serasa-rasa Hablum Minallah-Minannas-Minal’alam.
Dan tidak di pungkiri apa yang terjadi dalam sendi-sendi ke Islaman yang kita curahkan selama ini adalah dominan hasil olahan pemikiran barat dan penerapan budaya non lokal secara paksa. Semua itu adalah peradaban yang perlu di konversi dan tidak di benturkan dengan Nusantara-Indonesia yang plural.
Apapun motifnya, entah dalih ideologi, sektarianisme agama, budaya, barang atau jasa, semuanya melebur dalam reinterpretasi pemikiran agar kontekstual dengan tradisi-lokalitas. Artinya wacana atau produk modernitas bukan sesuatu hal yang menakutkan, padahal semua itu adalah kreativitas manusia yang sepatutnya kita kontemplasikan seksama, sumber daya dan produktivitas betul-betul di garap untuk kesejahteraan mayoritas tanpa sentimen Sara ‘Maslahah Al-Ammah’ yang notabenanya adalah manifestasi Pancasila dan masih selalu dibentur-formalkan.
Sungguh ada sensasi lucu tersendiri, hidup dimana orang-orang yang berdebat soal istilah, simbol dan nama. Tetapi pembudayaan diri yang di cerminkan bertolak belakang dengan apa yang sering kita sematkan sebagai binatang yang berfikir atau Hayawaan Nathiq (Animal Reasoning), ataukah Term ‘Reasoning’ telah kita kubur di dalam angan-angan liar.
Sehingga yang di pamerkan adalah keaslian binatang, sangat membingungkan bukan?. Penulis pun tidak mengerti perkumpulan-perkumpulan yang tergila-gila dengan urusan biologis ‘Seks’ semata, mulai dari agama dan urusan sosial adalah ketiadaan silaturahmi tanpa membicarakan aib, pamer perempuan cantik dan pria gagah dan inginku berkata kasar untuk mereka?.
Tidak diragukan lagi, tugasnya sarjanawan muda dan berkualitas, mau membawa Indonesia kemana?. Tradisi akan diracik seperti apa?. Turut andilkah dalam kontraksi dagang internasional, membaca peluang posisi strategis Indonesia?.
Mau sampai kapan kampanye demokrasi itu diteruskan berulang-ulang oleh para demagog demokrasi dengan ambisi Controling System dan transaksi kekurangan, tanpa pembibitan sekaligus pembudayaan ke dalam individu biar terwujudnya demokrasi yang benar-benar demokratif. Maka sarjanawan modal kertas ijazah dan korban Leftism Infantile Desease (penyakit kiri kekanak-kanakan), bisa apa kita ini?.
Penulis: Ahmad Riecardy (Presiden Mahasiswa IAIN Parepare priode 2020)